Salah satu upaya strategis dalam pembelajaran filsafat yang diterapkan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. (Guru Besar Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta) adalah dengan Luruh Ego. Kenapa ego harus diluruhkan? Sebelum lanjut ke materi inti, pengantar perkuliahan pagi ini menggambarkan posisi seorang mahasiswa S2 yang menjadi jembatan antara jenjang S1 dengan S3. Jenjang S2 diibaratkan dalam sebuah pegunungan adalah puncak gunung yang tingginya hampir menuju ke puncak tertinggi yang mana dalam menggapainya tentu rintangannya lebih berat daripada bukit ataupun puncak dibawahnya. Untuk menggapai puncak tersebut yang diharapkan bisa lanjut ke puncak tertinggi atau jenjang S3, tidak cukup hanya pengetahuan dari dalam diri sendiri tetapi juga diperlukan pengetahuan yang dipelajari melalui orang lain atau sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam upaya pencapaian menuju puncak tentu diiringi dengan perkembangan pola pikir dalam memanajemen diri pada beberapa aspek terutama ego. Orang yang sudah berpendidikan tinggi cenderung lebih mapan, memiliki relasi banyak, dan hubungan hierarkis dalam hidupnya. Untuk dapat mencegah ego tersebut menguasai maka ego tersebut harus diluruhkan. Salah satu bentuk ego adalah sudut pandang diri atau ke”aku”an yang mana pendapat diri sendiri itu adalah yang paling benar. Semakin tinggi tingkat ego atau ke”aku”an akan membawa kepada kesombongan. Beberapa bentuk kesombongan diantaranya adalah tidak mau memperhatikan, tidak mau belajar, tidak ikhlas, tidak mendengarkan saran, mengabaikan, merendahkan, merasa belajar tidak ada manfaatnya, dll. Tingkatan kesombongan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam rasa malu yang teramat sangat. Oleh karena itu, dalam perkuliahan kali ini diperkenalkan program luruh ego.
Refleksi diawali dengan 8 pertanyaan berurutan yang memilikin jawaban singkat maksimal 3 kata dalam semesta pembicaraan adalah filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seputar diri seperti siapa kamu? Dari mana kamu? Apa tujuanmu? Apa yang kamu lakukan? Siapa musuhmu? Kamu bersama siapa? Apa yang anda pegang? Mengapa anda disini? Jawaban dari mahasiswa akan memperlihatkan ego-ego dari mahasiswa dalam belajar filsafat ilmu seperti kurang ikhlas, menyepelekan, tidak mau mendengar arahan dari dosen agar mempelajari filsafat dari sumber yang telah diberikan. Jawaban mahasiswa juga sebagai buah refleksi dari belajar membaca. Mahasiswa yang menggabungkan semesta filsafat dengan kehidupan dan spiritualitas akan kesulitan dalam menjawab. Padahal lingkup filsafat itu sendiri ada di bawah spiritual.
Filsafat dari belajar adalah membudayakan atau membiasakan sehingga tidak terjadi kebosanan. Personifikasinya adalah seperti vaksinasi terhadap virus corona untuk menciptakan imunitas heredity. Semakin banyak orang yang pintar dan belajar maka peluang untuk ditipu, difitnah, diberikan informasi palsu/hoax akan kecil. Metode belajar filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada beserta hakekatnya. Jika dalam belajar terhadap keraguan dalam pikiran, hal tersebut wajar karena proses mencari ilmu dari beberapa tesis dan antitesis asal jangan ragu di hati. Sesuatu yang kontradiksi jangan dijadikan dalam satu semesta karena pikiran manusia adalah terbatas. Setelah belajar diharapkan menjadi cerdas yakni timbulnya sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada karena bodoh itu tidak mengenal ruang dan waktu serta memaksakan.
Sebagai penutup terdapat tingkatan dalam belajar filsafat. Belajar akan lebih bermakna jika dilandasi oleh kesadaran bukan hanya kewajiban sehingga tidak ada istilah penggugur kewajiban tetapi lebih kepada kesadaran akan kebutuhan belajar. Tiadalah pikiran mampu mengungkap semua relung hati. Tiadalah kata-kata atau ucapan mampu mengejar pikiran. Tiadalah tulisan mampu mengejar kata-kata. Tiadalah tindakan mampu mengejar tulisan. Karena Sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasan.