Potensi dari mempelajari filsafat terutama dalam memahami buku The Critique of Pure Reason dan implikasinya pada pembelajaran matematika tidak hanya memaknai sebuah istilah pembelajaran maupun matematika saja tetapi juga pada proses konstruktif dan aplikasinya. Menurut Prof. Marsigit, belajar atau mempelajari filsafat dapat dibagi menjadi 2 cara yakni meringkas dan menjelaskan yang masing-masing mempunyai permasalahan tersendiri. Meringkas akan dapat mencakup semua materi yang akan dipelajari akan tetapi tentu tidaklah lengkap, sedangkan menjelaskan memang dapat melengkapi secara detail tetapi memerlukan waktu yang lebih lama dan pengalaman yang lebih banyak. Oleh karena itu perlu dipadukan dalam memahami secara ringkas dan menjelaskan secara detail.
Menurut Kant, human reason atau akal budi terbagi 2 oleh pikiran atas dan pikiran bawah seperti logika dengan kenyataan, sesuai dengan cocok, apriori dengan aposteriori, dan analitik dengan sintetik. Dalam pembelajaran, ilmu matematika bersifat analitik apriori sedangkan pengalaman manusia bersifat sintetik aposteriori sehingga jika disatukan menjadi sintetik apriori. Ilmu masih setengah dari keseluruhan, begitu juga pengalaman masih setengah dari keseluruhan. Pengalaman setiap orang berbeda beda, bahkan pengalaman tidak pernah terulang kembali oleh orang yang sama. Pembentukan pengetahuan dapat melalui logika dan pengalaman dengan memerlukan sebuah judgement yang tinggi berdasarkan ruang dan waktu atau intuisi. Intuisi berjumlah sebanyak yang ada dan yang mungkin ada. Mempunyai intuisi yang baik adalah mengerti ruang dan waktu. Bila tidak mengerti ruang dan waktu seolah-olah seperti orang yang tidur, ruang dan waktunya di alam mimpi.
Peta Ideologi Pendidikan Menurut Paul Ernest (1995) terbagi menjadi 5 yakni industrial trainer, technological pragmatism, old humanism, progressive educator, dan public educator. Filsafat sendiri mampu menangkap sebuah kecenderungan, seperti situasi di Indonesia saat ini dalam tahap kontemporer terutama dalam hal politik yang sudah menganut sistem demokrasi meskipun dalam aspek pelaksanannya masih terdapat kekurangan-kekurangan seperti kebencian pasca pemilu atau rasa tidak terima pada kekalahan. Industrial trainer berawal pada era revolusi industri di Eropa yang dilanjutkan pada penjelajahan dunia. Dalam hal politik dikenal dengan radikal right seperti PKI, khilafah, dan DI/NII yang pernah memberontak dan ingin mengganti ideologi Pancasila tentu bukan hal yang baik. Demikian juga dengan sistem penjajahan yang dahulu dilakukan oleh negara-negara eropa terhadap negara-negara di Asia, Afrika, maupun Amerika.
Technological Pragmatis dan Old Humanis cukup berdekatan ditinjau dari ranah politik seperti menganut paham atau sistem yang sama, yang satu terbuka untuk menerima paham lain, yang satu masih tertutup. Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, industrial trainer, technological pragmatis, dan old humanis termasuk dalam pendidikan tradisional yang menjadikan manusia sebagai subyek industri dan kapitalis, memposisikan siswa sebagai gelas kosong yang perlu dijejali ilmu melalui transfer knowledge, dan pragmatis. Sedangkan progressive educator dan public educator adalah pendidikan masa kini yang lebih bersifat humaniora, hak asasi, dan konstruktivis. Dalam progressive educator dan public educator, pendidikan berpusat pada siswa karena manusia pasti memiliki akal budi dan pengetahuan dalam dirinya. Guru lebih bersifat sebagai fasilitator siswa dalam membangun pengetahuannya atau pendidikan sebagai konstruksi dan ilmu sebagai proses berpikir.
Dalam era public educator ini, belajar lebih dari sekedar konstruktif ilmu tetapi kegiatan sosial yang melibatkan permasalahan sehari-hari dalam mendalami konsep. Terkait hal ini, perlu digarisbawahi oleh para mahasiswa pendidikan terutama pendidikan matematika dalam mengambil kerangka teori pembelajaran untuk diterapkan. Aplikasi pembelajaran sudah tidak melulu pada ekspository dan visualisasi media tetapi lebih kepada kreativitas, diskusi bersama dan penemuan, eksplorasi berbagai macam sumber pengetahuan dan budaya. Pembelajaran lebih menghargai diversity dan heterogenous baik dari segi jenis kelamin, suku, agama, ras, status sosial. Siswa diajak untuk saling menghargai dan toleransi terhadap sesama.
Semakin beragam budaya dan konteks pembelajaran akan semakin baik seperti amanah Bhinneka Tunggal Ika dibandingkan dengan penyeragaman budaya tau monokultut ala penjajahan yang melupakan kearifan lokal demi tercapainya produksi masal, seragam, dan meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir kelompok. Penerapan melalui otonomi daerah adalah agar tetap lestarinya budaya di berbagai daerah sebagai kekayaan bangsa meskipun tidak melupakan persatuan yang ada. Adapun untuk evaluasi hasil belajar tidak melulu pada eksternal tes seperti Ujian Nasional (UN) tetapi lebih berbasis proyek dengan portofolio yang mana guru dapat memberikan penilaian yang lebih akurat terhadap perkembangan siswa. Penilaian lebih mengutamakan menggunakan persoalan-persoalan berbasis High Order Thinking Skills (HOTS).