Sabtu, 30 Oktober 2021

Pengalaman Refleksi Terhadap Luruh Ego

 

Salah satu upaya strategis dalam pembelajaran filsafat yang diterapkan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. (Guru Besar Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta) adalah dengan Luruh Ego. Kenapa ego harus diluruhkan? Sebelum lanjut ke materi inti, pengantar perkuliahan pagi ini menggambarkan posisi seorang mahasiswa S2 yang menjadi jembatan antara jenjang S1 dengan S3. Jenjang S2 diibaratkan dalam sebuah pegunungan adalah puncak gunung yang tingginya hampir menuju ke puncak tertinggi yang mana dalam menggapainya tentu rintangannya lebih berat daripada bukit ataupun puncak dibawahnya. Untuk menggapai puncak tersebut yang diharapkan bisa lanjut ke puncak tertinggi atau jenjang S3, tidak cukup hanya pengetahuan dari dalam diri sendiri tetapi juga diperlukan pengetahuan yang dipelajari melalui orang lain atau sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.

Dalam upaya pencapaian menuju puncak tentu diiringi dengan perkembangan pola pikir dalam memanajemen diri pada beberapa aspek terutama ego. Orang yang sudah berpendidikan tinggi cenderung lebih mapan, memiliki relasi banyak, dan hubungan hierarkis dalam hidupnya. Untuk dapat mencegah ego tersebut menguasai maka ego tersebut harus diluruhkan. Salah satu bentuk ego adalah sudut pandang diri atau ke”aku”an yang mana pendapat diri sendiri itu adalah yang paling benar. Semakin tinggi tingkat ego atau ke”aku”an akan membawa kepada kesombongan. Beberapa bentuk kesombongan diantaranya adalah tidak mau memperhatikan, tidak mau belajar, tidak ikhlas, tidak mendengarkan saran, mengabaikan, merendahkan, merasa belajar tidak ada manfaatnya, dll. Tingkatan kesombongan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam rasa malu yang teramat sangat. Oleh karena itu, dalam perkuliahan kali ini diperkenalkan program luruh ego.

Refleksi diawali dengan 8 pertanyaan berurutan yang memilikin jawaban singkat maksimal 3 kata dalam semesta pembicaraan adalah filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seputar diri seperti siapa kamu? Dari mana kamu? Apa tujuanmu? Apa yang kamu lakukan? Siapa musuhmu? Kamu bersama siapa? Apa yang anda pegang? Mengapa anda disini? Jawaban dari mahasiswa akan memperlihatkan ego-ego dari mahasiswa dalam belajar filsafat ilmu seperti kurang ikhlas, menyepelekan, tidak mau mendengar arahan dari dosen agar mempelajari filsafat dari sumber yang telah diberikan. Jawaban mahasiswa juga sebagai buah refleksi dari belajar membaca. Mahasiswa yang menggabungkan semesta filsafat dengan kehidupan dan spiritualitas akan kesulitan dalam menjawab. Padahal lingkup filsafat itu sendiri ada di bawah spiritual.

Filsafat dari belajar adalah membudayakan atau membiasakan sehingga tidak terjadi kebosanan. Personifikasinya adalah seperti vaksinasi terhadap virus corona untuk menciptakan imunitas heredity. Semakin banyak orang yang pintar dan belajar maka peluang untuk ditipu, difitnah, diberikan informasi palsu/hoax akan kecil. Metode belajar filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada beserta hakekatnya. Jika dalam belajar terhadap keraguan dalam pikiran, hal tersebut wajar karena proses mencari ilmu dari beberapa tesis dan antitesis asal jangan ragu di hati. Sesuatu yang kontradiksi jangan dijadikan dalam satu semesta karena pikiran manusia adalah terbatas. Setelah belajar diharapkan menjadi cerdas yakni timbulnya sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada karena bodoh itu tidak mengenal ruang dan waktu serta memaksakan.

Sebagai penutup terdapat tingkatan dalam belajar filsafat. Belajar akan lebih bermakna jika dilandasi oleh kesadaran bukan hanya kewajiban sehingga tidak ada istilah penggugur kewajiban tetapi lebih kepada kesadaran akan kebutuhan belajar. Tiadalah pikiran mampu mengungkap semua relung hati. Tiadalah kata-kata atau ucapan mampu mengejar pikiran. Tiadalah tulisan mampu mengejar kata-kata. Tiadalah tindakan mampu mengejar tulisan. Karena Sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasan.

Kamis, 21 Oktober 2021

Pembelajaran Matematika dari Ideologi Pendidikan Menurut Paul Ernest

 

Potensi dari mempelajari filsafat terutama dalam memahami buku The Critique of Pure Reason dan implikasinya pada pembelajaran matematika tidak hanya memaknai sebuah istilah pembelajaran maupun matematika saja tetapi juga pada proses konstruktif dan aplikasinya. Menurut Prof. Marsigit, belajar atau mempelajari filsafat dapat dibagi menjadi 2 cara yakni meringkas dan menjelaskan yang masing-masing mempunyai permasalahan tersendiri. Meringkas akan dapat mencakup semua materi yang akan dipelajari akan tetapi tentu tidaklah lengkap, sedangkan menjelaskan memang dapat melengkapi secara detail tetapi memerlukan waktu yang lebih lama dan pengalaman yang lebih banyak. Oleh karena itu perlu dipadukan dalam memahami secara ringkas dan menjelaskan secara detail.

Menurut Kant, human reason atau akal budi terbagi 2 oleh pikiran atas dan pikiran bawah seperti logika dengan kenyataan, sesuai dengan cocok, apriori dengan aposteriori, dan analitik dengan sintetik. Dalam pembelajaran, ilmu matematika bersifat analitik apriori sedangkan pengalaman manusia bersifat sintetik aposteriori sehingga jika disatukan menjadi sintetik apriori. Ilmu masih setengah dari keseluruhan, begitu juga pengalaman masih setengah dari keseluruhan. Pengalaman setiap orang berbeda beda, bahkan pengalaman tidak pernah terulang kembali oleh orang yang sama. Pembentukan pengetahuan dapat melalui logika dan pengalaman dengan memerlukan sebuah judgement yang tinggi berdasarkan ruang dan waktu atau intuisi. Intuisi berjumlah sebanyak yang ada dan yang mungkin ada. Mempunyai intuisi yang baik adalah mengerti ruang dan waktu. Bila tidak mengerti ruang dan waktu seolah-olah seperti orang yang tidur, ruang dan waktunya di alam mimpi.

Peta Ideologi Pendidikan Menurut Paul Ernest (1995) terbagi menjadi 5 yakni industrial trainer, technological pragmatism, old humanism, progressive educator, dan public educator. Filsafat sendiri mampu menangkap sebuah kecenderungan, seperti situasi di Indonesia saat ini dalam tahap kontemporer terutama dalam hal politik yang sudah menganut sistem demokrasi meskipun dalam aspek pelaksanannya masih terdapat kekurangan-kekurangan seperti kebencian pasca pemilu atau rasa tidak terima pada kekalahan. Industrial trainer berawal pada era revolusi industri di Eropa yang dilanjutkan pada penjelajahan dunia. Dalam hal politik dikenal dengan radikal right seperti PKI, khilafah, dan DI/NII yang pernah memberontak dan ingin mengganti ideologi Pancasila tentu bukan hal yang baik. Demikian juga dengan sistem penjajahan yang dahulu dilakukan oleh negara-negara eropa terhadap negara-negara di Asia, Afrika, maupun Amerika.

Technological Pragmatis dan Old Humanis cukup berdekatan ditinjau dari ranah politik seperti menganut paham atau sistem yang sama, yang satu terbuka untuk menerima paham lain, yang satu masih tertutup. Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, industrial trainer, technological pragmatis, dan old humanis termasuk dalam pendidikan tradisional yang menjadikan manusia sebagai subyek industri dan kapitalis, memposisikan siswa sebagai gelas kosong yang perlu dijejali ilmu melalui transfer knowledge, dan pragmatis. Sedangkan progressive educator dan public educator adalah pendidikan masa kini yang lebih bersifat humaniora, hak asasi, dan konstruktivis. Dalam progressive educator dan public educator, pendidikan berpusat pada siswa karena manusia pasti memiliki akal budi dan pengetahuan dalam dirinya. Guru lebih bersifat sebagai fasilitator siswa dalam membangun pengetahuannya atau pendidikan sebagai konstruksi dan ilmu sebagai proses berpikir.

Dalam era public educator ini, belajar lebih dari sekedar konstruktif ilmu tetapi kegiatan sosial yang melibatkan permasalahan sehari-hari dalam mendalami konsep. Terkait hal ini, perlu digarisbawahi oleh para mahasiswa pendidikan terutama pendidikan matematika dalam mengambil kerangka teori pembelajaran untuk diterapkan. Aplikasi pembelajaran sudah tidak melulu pada ekspository dan visualisasi media tetapi lebih kepada kreativitas, diskusi bersama dan penemuan, eksplorasi berbagai macam sumber pengetahuan dan budaya. Pembelajaran lebih menghargai diversity dan heterogenous baik dari segi jenis kelamin, suku, agama, ras, status sosial. Siswa diajak untuk saling menghargai dan toleransi terhadap sesama.

Semakin beragam budaya dan konteks pembelajaran akan semakin baik seperti amanah Bhinneka Tunggal Ika dibandingkan dengan penyeragaman budaya tau monokultut ala penjajahan yang melupakan kearifan lokal demi tercapainya produksi masal, seragam, dan meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir kelompok. Penerapan melalui otonomi daerah adalah agar tetap lestarinya budaya di berbagai daerah sebagai kekayaan bangsa meskipun tidak melupakan persatuan yang ada. Adapun untuk evaluasi hasil belajar tidak melulu pada eksternal tes seperti Ujian Nasional (UN) tetapi lebih berbasis proyek dengan portofolio yang mana guru dapat memberikan penilaian yang lebih akurat terhadap perkembangan siswa. Penilaian lebih mengutamakan menggunakan persoalan-persoalan berbasis High Order Thinking Skills (HOTS).

Pengalaman Mempelajari Buku the Critique of Pure Reason Bagian Pendahuluan

 

Kompleksnya buku The Critique of Pure Reason, telah membuat banyak orang yang membaca menganggap bahwa elaborasinya atau architectonic sebagai dinding dalam memahami isi buku. Critique sendiri terbagi menjadi 2 yakni Doktrin Elemen dan Doktrin Metode. Doktrin Elemen sendiri terbagi menjadi transendental aestetik dan transendental logis. Pada transendental aestetik, apriori berkontribusi sebagai dasar dari sensibilitas, yakni ruang dan waktu. Pada kesempatan lain, apriori berkontribusi dalam intelektualitas, baik asli maupun yang meragukan, pada pengetahuan kita. Pada transendental logis, terbagi menjadi 2 yakni transendental dialektik dan analitik. Transendental analitik terbagi menjadi analitik konsep dan analitik prinsip. Sedangkan transendental dialektik terbagi menjadi konsep akal budi murni dan dialektikal inferensi akal budi.

Kombinasi dari keempat poin di atas menghasilkan konsep, judgements, dan inferensi. Konsep dari pemahaman murni digunakan dalam aplikasi sensibilitas yang menggaungkan prinsip dari judgement yang menetapkan inti dari kritik metafisik, tetapi inferensi dari akal budi murni dapat menimbulkan ilusi metafisik. Perlakuan terhadap inferensi terbagi menjadi 3 yakni Paralogisme akal budi murni, antitomi akal budi murni, dan idealisme dari akal budi murni. Kant juga membagi Doktrin Metode menjadi 4 bagian yakni Discipline, Canon, Architectonic, dan History of Pure Reason. Hal terpenting dari apa yang dituliskan Kant adalah doktrin positif terhadap elemen apriori pengetahuan manusia. Kant mendefinisikan bahwa ilmu matematika, fisika, dan lainnya memerlukan judgment yakni sintesis dibandingkan dengan analitik

Judgement empiris atau pengalaman jauh lebih mudah dibandingkan judgement sintetik. Judgement sintetik memerlukan adanya sumber utama, bagian, kawasan, dan batasan. Pengalaman ada sebagai awal dari kognitif manusia. Proses kognitif diperoleh melalui latihan berulang atau stimulasi pada indera yang memicu terbentuknya representasi. Ketika waktu dilibatkan, tidak ada kognitif yang mendahului pengalaman dan dengan pengalaman semua kognitif mulai. Pengalaman juga mengajarkan pada kita untuk yakin bahwa ada sebab akibat dari sesuatu begitupula sebaliknya. Pengalaman tidak pernah memberikan judgment langsung tetapi melalui perkiraan dan perbandingan secara menyeluruh. Matematika memberikan contoh bahwa apriori tidak selamanya bisa berjalan sendirian tanpa adanya pengalaman. Tanpa adanya pengalaman, semua obyek dan pengetahuannya hanya bisa sejauh intuisi.

    Semua judgement pada matematika adalah bersifat sintetik. Hal itu karena sejak seseorang menemukan kesimpulan para matematikawan bahwa semua yang ada dalam matematika berjalan sesuai dengan prinsip kontradiksi. Orang diyakinkan bahwa prinsip-prinsip tersebut juga dapat dikenali dari prinsip kontradiksi. Pengetahuan yang bersifat sintetik apriori seharusnya meliputi analisis konsep, penjelasan secara analitik, sekaligus memperkuat proses kognisinya. Pengetahuan mengenai metafisik sampai saat ini masih berada dalam tahap ketidakpastian dan kontradiksi yang mungkin disebabkan oleh perbedaan antara sintetik judgement dengan analitik judgement.

Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan

    Hidup manusia itu metafisika, sebelum ada, masih ada yang sebelumnya. Sebagai makhluk, manusia itu tidak sempurna dalam hakikat sempurna dan sempurna dalam ketidaksempurnaan. Sebagai contoh adalah manusia tidak bisa mengubah takdir, kecuali kuasa Tuhan, dalam contoh kecilnya ketika memilih sesuatu dalam sebuah undian manusia tidak bisa mengambil yang dia inginkan baik hasil maupun urutannya. Mempelajari filsafat yang ideal adalah memahami ruang dan waktu serta tesis dan antitesis untuk kemudian disintesiskan. Ilmu filsafat dalam penjelasan pada video youtube berjudul Filsafat Bagian 1 (Prof. Dr. Marsigit, M.A.) pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 2019 (dapat diakses di alamat https://www.youtube.com/watch?v=8t3lalvQbiQ) terbagi menjadi 2 bagian besar yakni definisi dan contoh. Tingkatan tertinggi dari definisi adalah spiritualitas atau kuasa Tuham, sedangkan tingkatan tertinggi dari contoh adalah Realisme dalam kehidupan manusia. Tingkatan dari definisi meliputi hal-hal dasar seperti terciptanya manusia yang tetap, tidak dapat memilih, merupakan takdir, ideal, dan absolut atau disebut juga kausalisme. 
 
    Tingkatan dari contoh meliputi sifat-sifat dalam diri manusia seperti berubah, vital,memilih, ikhtiar, dan realisasi atau termasuk dalam materialisme. Dalam kaitan keilmuan dengan definisi dari filsafat terdapat logicism, coherenism, analitik, konsisten, aksioma, teorema, dan hukum. Dalam kaitan keilmuan dengan contoh terdapat persepsi, korespondensi, materialisme, dan hukum alam. Seperti halnya manusia yang tumbuh dari kecil dengan tahapan pikir posteriori dan berdasarkan pengalaman-pengalaman menuju dewasa yang tumbuh dalam tahapan apriori.
 
    Pertumbuhan berdasarkan pengalaman akan menumbuhkan empirism, sedangkan hasil pemikiran setelah dewasa adalah rasionalism. Hidup di dunia berdasarkan pengalaman seringkali bersifat atau bisa bersifat kontradiktif dan kompromi, sedangkan dalam pikiran adalah bersifat identitas dan tautologis. Beberapa tokoh dalam filsafat adalah Immanuel Kant dan Rene Descartes yang mengemukakan pendapat cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) yang bahwasanya manusia hidup apabila dia berpikir dan bergerak terus. Dengan pemikiran-pemikiran itu akan muncul penemuan-penemuan baru baik yang sederhana maupun kompleks. Untuk membangun suatu peradaban dalam kehidupan, diperlukan pemikiran yang kuat sebagai dasarnya. 
     
    Kondisi kehidupan manusia saat ini dihadapkan pada masa Post Modern yang mana merupakan perkembangan dari modern, feudal, tradisional, tribal, dan archric. Tuntutan demi tuntutan dalam kehidupan telah memaksa manusia untuk terus belajar dan berkembang mengikuti zaman. Tantangan saat ini yang paling banyak adalah kapitalism, materialism, pragmatism, dan liberalism. Kita sebagai orang Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila harus berpegang teguh agar tidak terbawa arus post modernism. Dengan memegang teguh Pancasila, kita akan terhindar dari upaya-upaya penggantian ideologi yang selama ini telah dilakukan oleh sekelompok orang. Semakin banyak belajar dan membaca serta tunduk pada Tuhan YME akan membawa kita menjadi manusia seutuhnya yang terbebas dari berbagai hal-hal tidak baik yang ada di dunia.