Rabu, 03 November 2021

AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA

 

Hidup selalu tentang teori suatu ilmu dan penerapannya, tak terkecuali pada lingkup pendidikan terutama pendidikan matematika. Dalam pendidikan matematika, terdapat bagian-bagian yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain seperti ideologi dari pendidikan, tujuan pendidikan, sifat matematika, matematika sekolah, pendidikan matematika, karakter siswa, karakter guru, sifat dari proses belajar, sifat dari proses mengajar, sifat dari sumber belajar, teori dan metode belajar yang dilaksanakan, teknik penilaiannya, lingkungan belajar, kurikulum yang mendasarinya, sikap pembelajar matematika, dan pola berpikir matematis. Masing-masing terdapat teori atau paham dan telah diimplementasikan di berbagai tempat pada periode tertentu berdasarkan karakter-karakter tersendiri.

Pendidikan adalah sebuah jembatan dalam membangun suatu peradaban yang dapat menentukan apakah peradaban berjalan secara demokratis, liberal, konservatif, sosialis atau radikal. Pada perkembangan saat ini, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer ilmu tetapi sebagai sebuah aktivitas yang melibatkan individu yang belajar, dalam hal ini siswa, dengan guru sebagai fasilitator yang membantu proses belajar. Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan satu aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor.  Belajar sebagai sebuah kesadaran akan perkembangan diri bukan sekedar kebutuhan, upaya perubahan, bahkan kewajiban yang akan gugur setelah ditunaikan. Siswa diposisikan sebagai seorang yang merdeka terhadap pilihannya yang dihormati haknya dalam berdemokrasi.

Dalam kegiatan pembelajaran, siswa tidak lagi diposisikan sebagai gelas kosong yang perlu dijejali oleh guru tetapi sebagai manusia seutuhnya yang telah memiliki daya pikir atau ilmu serta cara dalam membangun pengetahuannya sendiri melalui pola belajar masing-masing. Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan aktivitas sosial adalah langkah yang tepat karena memadukan kegiatan pemahaman, penalaran, mencari pola dan hubungan, penemuan, penyelesaian masalah, serta komunikasi. Belajar matematika yang sistematis dari permasalahan yang mudah menuju yang rumit melalui aktivitas sosial dapat membentuk karakter yang kompleks seperti cendekia, disiplin, jujur, demokratis, kreatif, berpikir kritis, berwawasan luas, percaya diri, mandiri, dan bertanggung jawab.

Dengan karakter-karakter yang kuat, akan dapat menghindarkan seseorang dari segala sesuatu yang bersifat radikal dan merusak baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Sebagai contoh dalam kegiatan pemilu yang demokratis perlu dipahami substansinya yakni keberlanjutan program pembangunan sebuah negara dan kesejahteraan rakyatnya yang telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukan pada hal-hal seperti mengganti ideologi seperti yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu. Pemilihan pemimpin didasarkan pada visi, misi, dan implementasi dari program yang dicanangkan serta langkah yang telah ditempuh, tidak sekedar pada aspek individu sesorang. Setelah pemilu selesai, apapun hasilnya, selesai sudah perdebatan, jangan sampai terjadi bentrokan fisik apalagi sampai ada korban. Sebagai warga negara yang baik perlu bersama-sama mendukung dan turut serta dalam membangun negara sehingga persatuan dan kesatuan dapat terjaga.

Untuk menyelenggarakan pembelajaran matematika yang dapat membentuk karakter-karakter individu seperti di atas tentu tidak mudah. Pembelajaran perlu memfasilitasi seluruh siswa, kegiatannya menyenangkan, tidak bersifat memaksa apalagi sampai menimbulkan trauma. Seorang guru perlu menyadari bahwa tujuan utama adalah kebutuhan siswa bukan kepuasan pribadi. Siswa butuh difasilitasi, butuh diberikan kebebasan berekspresi, butuh bimbingan dan dorongan motivasi, butuh kedekatan perasaan, serta diakui keberadaannya serta pengetahuan yang dimilikinya. Kegiatan pembelajaran yang kontekstual sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa perlu dilakukan dengan berbagai metode dan media sehingga selalu ada hal baru yang dinantikan oleh siswa. Penggunaan lembar kerja siswa (LKS) dapat membantu dalam memandu kegiatan pembelajaran.

Tantangan dalam mengimplementasikan tentu sangat banyak terutama di Indonesia ini yang mana fasilitas antara satu daerah dengan daerah lain tidaklah sama meski kurikulumnya sama. Teknik penilaian yang digunakan guru agar dapat menilai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor pun perlu dikembangkan dari yang hanya menggunakan soal-soal latihan yang bersifat algoritmik dan berulang yang dapat menimbulkan kebosanan serta trauma. Penulis teringat ketika penulis masih duduk di bangku SMP pada tahun 2004-2006 yang mana kelulusan ditentukan melalui Ujian Nasional (UN) yang juga sebagai acuan untuk masuk ke jenjang SMA. Sekian banyak mata pelajaran yang ditempuh, karena hanya 3 mata pelajaran yang dijadikan sebagai UN (Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris), fokus sekolah hanya pada bagaimana siswa mencapai nilai UN setinggi-tingginya melalui berbagai metode seperti tambahan jam belajar, drilling soal, serta membandingkan nilai antar siswa tanpa memperhatikan beban pikiran dan aspek psikologi dalam diri siswa. Esensi utama bagaimana informasi dalam materi pembelajaran dapat dikonstruksi oleh siswa tidak lagi menjadi perhatian utama. Terdapat banyak sekali tuntutan pada anak sekolah pada masa itu yang tentu dapat menyebabkan trauma terutama bagi mereka yang tidak lulus. Bagaimana pendidikan selama 3 tahun dianggap tidak lulus hanya berdasarkan ujian akhir 3 mata pelajaran?

Pengembangan teknik penilaian terutama dalam pendidikan matematika sangat beragam mulai portofolio, produk, pemecahan masalah. Evaluasi lebih mengutamakan pada permasalahan yang memfasilitasi kemampuan berpikir tingkat tinggi dan mempunyai banyak solusi. Penilaian tidak cuma untuk menilai hasil belajar tetapi juga proses pembelajaran dan untuk pembelajaran. Penilaian metakognisi pada siswa juga dilakukan sehingga siswa dapat mengetahui kesesuaian dari apa yang telah dipelajari dengan ekspektasi mereka. Sebagai penutup, keberhasilan proses pendidikan perlu menjadi perhatian banyak pihak yang terlibat di dalamnya yakni siswa, guru, orangtua siswa, masyarakat, serta pejabat agar tujuan pendidikan dapat terwujud untuk kebaikan semua pihak.